Image and video hosting by TinyPic

Senin, 24 Juni 2019

Setelah Empat Abad Bagaimana Sedimentasi Membentuk Rupa Jakarta?


Sejak era kolonial Belanda, Jakarta Menghadapi bayang-bayang sediamentasi muara sungainya. Penataan wilayah hulu, orientasi pembangunan lingkungan, dan perilaku warga kota dapat mencegah potensi banjir di Ibu Kota sebagai dampak endapan.

Wilayah DKI Jakarta memiliki dua lanskap, punya daratan seluas 662 kilometer persegi dan wilayah lautan sebesar 6.977 kilometer persegi.
Dari lanskap perairan ini, Jakarta mempunyai 110 pulau yang tersebar di kepulauan Seribu. Di sebelah utara wilayah Ibu kita ini membentang pantai dari barat ke timu  sepanjang 35 km yang menjadi bermuaranya sungai-sungai yang melewati Jakarta.

Ekosistem air tersebut memberi manfaat bagi masyarakat Jakarta.
Kepulauan Seribu adalah satu daerah wisata menarik bagi warga Ibu Kota. Kepulauan Seribu menawarkan keindahan alam pantai di jajaran pulaunya, bangunan sejarah, juga keindahan alam bawah laut, seperti di pulau Pramuka, Sepa, Bira, Tidung, Pari, harapan, Kelapa, Bidadari, Cipir, Onrust, dan kelor.

pada 2017, sebenyak 878.971 wisatawan domestik danmancanegara berlibur di kepulauan Seribu. Tahun lalu, sebanyak 82.525 wiasatan memanfaatkan waktu libur Lebaran du sejumlah pulau Seribu.

Demikian juga dengan sumber daya laut, seperti kerang dan ikan. data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta mencatat, pada 2015 terdapat pula potensi perikanan. Pada 2017, transaksi ikan di pasr Muara Baru mencapai Rp. 9 miliar per hari dengan jumlah ikan diperdagangkan mencapai 400 ton.

Namun, selain memberi manfaat, tidka jarang lanskap air di Jakarta juga memberi dampak negatif bagi warganya. Terlebih wilayah Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas perumukaan laut.
Banyak faktor menjadi penyebab banjir. Salah satu penyebabnya adalah karena pendangkalan di daerah muara. Pendangkalan dipicu oleh sedimentasi berlebihan di hilir sungai, utamanya Sungai Ciliwung.

Ciliwung


Pada periode sebelum kemerdekaan Indonesia (1625-1945), wilayah muara Ciliwung mengalami pergeseran garis pantai rata-rata 5,5 meter per tahun. Hal ini disebabkan oleh sedimentasi atau pengendapan yang berlebihan. Terdapat perbedaan laju pergeseran garis pantai pada sisi timur dan sisi barat hulu Ciliwung.

Sedimentasi terjadi lebih cepat pada sisi barat Ciliwung. Kondisi ini menyebabkan pergeseran garis pantai sekitar 7 meter per tahun. Sementara di sisi timur sungai 4 meter dalam satu tahun.

Dilihat dari hasil tumpang susun (overlay) peta tahun 1625, 1667, 1740, 1780, 1897, 1906, dan 1945 yang diambil dari koleksi Universitas Leiden Belanda, selama 320 tahun garis pantai utara Batavia telah bergeser 2.250 meter pada sisi barat Ciliwung dan 1.400 meter di sisi timur.

Jika mencermati kondisi geografisnya, pada bagian barat Ciliwung terdapat lebih banyak muara sungai. Dari peta Batavia tahun 1906 terdapat Muara Baru, Muara Pekulitan, Muara Pegantungan, dan Muara Karang.

Semakin banyak muara sungai, artinya semakin banyak material endapan yang terbawa air sungai dan menjadi sedimen di tepi laut. Sedimentasi merupakan kejadian yang alami, tetapi yang terjadi di mulut Ciliwung merupakan sedimentasi yang berlebihan.


Sedimentasi ini memberi dampak negatif. Penumpukan material bawaan sungai Ciliwung menjadi kendala bagi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dalam mengelola kota pelabuhan Batavia.

Adolf Heuken SJ dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II (2001) menuliskan, pendangkalan karena sedimentasi di mulut Ciliwung menyulitkan kapal barang dan penumpang merapat di Pelabuhan Batavia. Akibatnya, barang dan penumpang harus diturunkan di tengah laut, kemudian diangkut dengan kapal yang lebih kecil untuk dapat mencapai pelabuhan di hulu Ciliwung.

Pada mulanya kapal-kapal layar dapat mencapai bagian dalam Sungai Ciliwung, setidaknya hingga Galangan Kapal VOC. Bekas galangan kapal ini sekarang dimanfaatkan sebagai kedai kopi bernama VOC Galangan Resto Café yang terletak di Jalan Kakap.

Titik lokasi bekas Galangan VOC dengan pelabuhan Sunda Kelapa saat ini berjarak sekitar 600 meter. Jika mengacu pada jarak dua lokasi tersebut, sedikitnya garis pantai Jakarta sudah bergeser sejauh 600 meter dalam kurun waktu empat abad.

Sungai Ciliwung di sekitar Pintu Air Depok, Jawa Barat, pada musim kemarau, Rabu (29/9/1982). Saat itu kawasan Puncak-Ciawi-Pacet sudah penuh dengan rumah makan sekitar 900 unit, hotel sekitar 1.700 unit, dan bungalo pribadi mencapai 1.400 unit. Kawasan tersebut seharusnya bersih dari bangunan karena sebagian berada di daerah hulu Ciliwung, sebelah utara Gunung Pangrango. Hal itu mengakibatkan air tidak terkendali dan ikut menumpahkan banjir ke Jakarta pada musim hujan.

Pengembangan kota

Masifnya pengembangan kota Batavia sedikit banyak berpengaruh pada sedimentasi pesisir utara Jakarta. Susan Blackburn dalam buku Jakarta, Sejarah 400 Tahun (2011) menyebutkan, saat itu VOC membutuhkan tanggul kanal untuk mengendalikan banjir dan menjamin lancarnya jalur masuk kapal dari laut ke Sungai Ciliwung.

Menghadapi hal ini, VOC membangun kanal batu karang di kanan kiri Ciliwung pada 1634 untuk mencegah pendangkalan. Di kemudian hari, tanggul kanal dibuat semakin memanjang ke utara untuk menjaga jalur kapal tetap dapat dilalui. Tanggul kanal ini merupakan cikal bakal Pelabuhan Sunda Kelapa yang ada sekarang.

Merujuk pada perbandingan peta Batavia tahun 1625 terbitan Biro Topografi Batavia dan peta tahun 1667 karya GB Hooyer dan JW Yzerman, terjadi pergeseran garis pantai sejauh 350 meter di barat kali dan 300 meter di sisi timur. Pada periode ini, bagian utara Kasteel Batavia atau Benteng Batavia tidak lagi berada di garis pantai.

Perbandingan garis pantai Batavia tahun 1625 (kiri) dengan tahun 1667 (kanan). Peta diambil dari koleksi Universitas Leiden Belanda nomor KIT541139 (tahun 1625) dan KIT549143 (tahun 1667).


Dalam kurun waktu 62 tahun, Pemerintah Batavia berhadapan dengan pergeseran garis pantai sejauh 7,7 meter per tahun. Kecepatan pergeseran garis pantai pada periode 1625-1667 lebih tinggi daripada laju rerata dalam kurun 320 tahun (1625-1945), yakni 5,5 meter per tahun.

Tingginya sedimentasi yang mendorong garis pantai jauh ke utara pada awal pembangunan Batavia disebabkan sedikitnya oleh tiga faktor, yakni sistem kanal yang dibangun Belanda, pembukaan lahan di luar kota Batavia, dan penebangan pohon hutan di hulu Ciliwung.

Sistem kanal yang dibangun Belanda mempercepat aliran air menuju laut dengan membawa material endapan. Selain endapan, limbah kota juga turut dibuang ke sungai, hal ini menyumbang percepatan sedimentasi di muara.

Awalnya, tanggul kanal yang dibuat adalah pelurusan Ciliwung yang sekarang menjadi Kali Besar di Kota Tua. Tujuan pelurusan ini untuk memperlancar lalu lintas perahu dan meningkatkan kecepatan aliran air kali supaya tidak menggenangi kota.

Selain pembangunan infrastruktur, dibukanya lahan untuk perluasan Kota Batavia di sisi barat Ciliwung serta lahan pertanian dan perkebunan di luar kota turut menambah terjadi sedimentasi.

Komoditas pertanian yang menjadi primadona kala itu adalah produk gula. VOC membuka banyak lahan tebu. Hasil tanaman tebu kemudian diolah menjadi gula dan arak untuk komoditas ekspor.



Hulu

Kota Batavia semakin besar dan meluas dari waktu ke waktu. Populasi penduduk Batavia tahun 1673 sebanyak 27.000 jiwa tinggal di wilayah dalam tembok kota. Selisih 57 tahun kemudian, pada 1730, populasi di dalam kota turun menjadi 20.000 jiwa dan warga luar kota sebanyak 15.000 penduduk.

Lingkungan dalam tembok kota Batavia yang dinilai semakin tidak sehat mulai ditinggalkan penduduknya. Mereka mendirikan permukiman di selatan Batavia yang disebut Weltevreden, sekarang bernama Lapangan Banteng di Jakarta Pusat. Jumlah penduduk Batavia pada 1779 sejumlah 173.117 jiwa. Sebanyak 12.131 jiwa tinggal di Batavia lama (Kota Tua) dan 160.986 penduduk tinggal di luar Kota Tua.

Semakin banyak penduduk, kebutuhan ruang tempat tinggal dan lahan budidaya pangan turut meningkat. Perambahan hutan untuk tempat tinggal serta perkebunan dan sawah semakin meluas dan menjamah hulu sungai.

Lebih lanjut Susan Blackburn menyebutkan, lumpur yang terbawa ke hilir sungai semakin banyak akibat pembukaan lahan di bagian hulu untuk pertanian. Daerah hulu sekarang dikenal sebagai wilayah Bogor.

Akibat kerusakan alam daerah hulu sungai, pendangkalan di muara juga semakin menjadi. Dibandingkan dengan tahun 1667, satu abad kemudian garis pantai pada 1780 bergeser sejauh 600 meter di timur Ciliwung dan 450 meter di sisi barat.

Pendangkalan akibat sedimentasi sesungguhnya proses alamiah terbawanya material ringan dari hulu ke hilir sungai. Sedimentasi berpotensi mengganggu keseimbangan kehidupan saat endapan yang muncul berlebihan dan dibiarkan terus-menerus.

Dulu, VOC merawat sistem kanal yang cepat mendangkal dengan mengeruk endapan lumpur di dasar kanal. Gambaran ini sama persis dengan kegiatan pasukan oranye Pemprov DKI Jakarta yang melakukan pengerukan di kali-kali ataupun saluran pembuangan air di permukiman warga.

Alat berat digunakan oleh petugas Unit Pelaksana Kebersihan (UPK) Badan Air Suku Dinas Lingkungan Hidup Jakarta untuk mengangkat sampah yang memenuhi Pintu Air Manggarai, Jakarta, Rabu (24/4/2019). Sampah berupa kayu, bambu, plastik dan stereofoam selalu menumpuk di Pintu Air Manggarai jika debit air Sungai Ciliwung meningkat akibat hujan yang mengguyur kawasan Bogor dan sekitarnya.

Saat ini, masalah tersebut masih dihadapi oleh Jakarta, terutama ketika musim hujan tiba. Akibat pendangkalan di muara, kecepatan aliran air menjadi lambat, hal ini menyebabkan genangan dan berpotensi menyebabkan banjir.

Belajar dari rekam jejak sejarah pembangunan Batavia, faktor antropogenik turut membuat kondisi yang tidak membaik selama empat abad ini. Manusia menjadi pemain utama dalam akumulasi pencemaran ekosistem alam Jakarta. Pengembangan kota dan perilaku warga yang tidak memperhatikan aspek lingkungan membuat sedimentasi tak juga tersapu.

Warga Ibu Kota dapat berpartisipasi dengan tidak membuang sampah/limbah ke aliran air. Pemangku kebijakan juga harus merumuskan paradigma pembangunan yang memperhatikan aspek daya dukung lingkungan agar ekosistem Jakarta tetap lestari.

Banjir melanda beberapa daerah di Kelurahan Kampung Melayu Besar, Kampung Melayu Kecil, dan Jalan Masjid, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, yang berada dekat aliran Sungai Ciliwung, Selasa (20/10/1992). Daerah-daerah tersebut memang langganan banjir, tetapi kali ini banjir cukup besar karena ketinggian air mencapai lebih kurang 2 meter dan datang secara tiba-tiba. Terlihat beberapa rumah satu lantai terendam air dan tinggal atapnya yang tampak di atas air.













Mari Bergabung Bersama kami Di VIPKAS99,NET dan Buktikan Diri kamu lalu WD Sebanyak banyaknya dengan menantang Player lainnya di atas MEJA POKER dan mainkan sesuai pilihan kamu Hanya disini Bosku :) <3 Dengan DEPO /WD Minimal 20.000 sudah bisa bermain 8 macam permainan dalam 1 USER ID ^^ :) :)

Info lebih lanjut :

PIN : 55A9CFF6

Telp : +85598791608

Link Resmi

WWW,VIPKAS99,NET

WWW,VIPKAS99,ORG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenal DIRBS, Mesin Identifikasi dan Blokir Ponsel BM di Indonesia

Pemerintah bernecana akan memblokir ponsel-ponsel yang masuk Indonesia lewat jalur non-resmi alias black market ( BM ) melalui nomer unik...